Senin, 06 November 2017

Roomsch Katholieke Kerk


Roomsch Katholleke Kerk Magelang ; dalam Bahasa Belanda atau Gereja Katolik Roma di Magelang. Gambar diatas adalah sebuah Photo Post Card atau PPC yang merupakan salah satu koleksi yang beruntung saya dapatkan. Dari gambar dan tulisan kartu pos tersebut (berbahasa Belanda) kita tahu bahwa bangunan gereja tersebut sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Artinya bangunan tersebut paling tidak sudah di bangun sebelum tahun 1945. Dari data kita mengetahui bahwa hanya ada 2 buah gereja di magelang yang berdiri sejak jaman Belanda yaitu Gereja Ignatius kota Magelang dan Gereja Antonius Muntilan.
Sepintas dengan melihat gambar bangunan yang ada di foto kita bisa menebak bahwa bangunan tersebut mirip dengan Gereja Ignatius sekarang. Demikian pula dengan latar belakang dan halaman mukanya sepintas  mirip dengan Gereja Ignatius sekarang. Gambar tersebut diambil dari pinggir jalan mengingat ada pagar di depan bangunan. Gereja Ignatius sekarang tepat menghadap ke jalan, sedangkan Gereja Antonius Muntilan tidak menghadap ke jalan. Jadi bisa kita pastikan bahwa gambar pada kartu pos tersebut adalah Gereja Ignatius sekarang.

Kalau bangunan tersebut berbeda dengan yang sekarang, hal ini dikarenakan Gereja Ignatius sudah mengalami dua kali perombakan. Perombakan pertama tahun 1926, yakni dengan menambah sayap kiri dan kanan dilebarkan seluas 3,5 meter. Foto tersebut diduga diambil sebelum Gereja Ignatius mengalami perombakan yang pertama yakni sebelum tahun 1926. Tampak gereja hanya memiliki satu pintu utama, yang sekarang menjadi pintu tengah. Sedangkan bangunan sekarang mempunyai tiga buah pintu, dengan dua buah pintu kecil di kiri dan kanan mengapit pintu tengah yang lebih besar.

Menarik dalam foto tersebut tampak gadis-gadis berbaju putih sedang berbaris di depan Gereja. Mereka berjumlah sekitar 50 orang, dengan wajah Belanda, Indo, dan pribumi. Dari raut muka dan posturnya, bisa ditebak mereka berusia belasan tahun antara 10-15 tahunan. Baju putih yang mereka kenakan bisa merupakan seragam sekolah atau mereka baru saja menerima baptis. Dugaan pertama, mereka adalah siswi-siswi dari sekolah setingkat Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Dugaan kedua mereka adalah remaja putri yang baru saja menerima baptis.




Di Kabupaten Magelang terdapat lebih dari 10 Gereja Katolik sebagai tempat peribadapan umat Katolik. Salah satunya, yang tertua adalah Gereja Katolik Santo Ignatius yang terletak di sebelah barat alun-alun kota Magelang, tepatnya di Jalan Yos Sudarso nomor 6. Sejarah perkembangan umat Katolik di Magelang, tak terlepas dari perkembangan agama Katolik di Indonesia. Berikut saya sertakan cuplikan kisahnya ; diambil dari Wikipedia, hidup baru, dan situs web gereja Ignatius.


Pada awal abad ke 16 semangat petualangan menjelajah samudera dan mencari sumber rempah-rempah di kalangan bangsa Portugis yang beragama Katolik membawa mereka hingga ke Malaka. Kontak agama Katolik dengan bumi nusantara merembet dari pangkalan Portugis di Malaka ke pulau-pulau lain melalui pelabuhan-pelabuhan utama yang disinggahi kapal-kapal dagang Portugis, misalnya: Banda (1511), Ternate (1513), Sunda Kelapa (1522), Panarukan (1528).. Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil.
Era VOC
Kedatangan dan kekuatan militer Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619 - 1799 akhirnya merebut monopoli perdagangan rempah-rempah dari bangsa Portugis dan praktis menegakkan hegemoni politik di Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak melakukan kegiatan misi dan hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh VOC yaitu Flores dan Timor. Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan pendeta-pendeta Protestan dari Belanda.
Era Hindia Belanda
Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja Louis, seorang Katolik, kerabat Napoleon Bonaparte, membawa pengaruh yang cukup positif. Semangat Revolusi Perancis "liberte, egalite, fraternite" (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) merembes ke kalangan pemerintahan Belanda. Pada tanggal 7 Agustus 1806 Raja Lodewijk Napoleon mengumumkan undang-undang kebebasan beragama. Akibatnya, Gereja Katolik di Indonesia, yang dilarang sejak tahun 1621, dapat berkembang lagi. Pada tanggal 8 Mei 1807, Paus Pius VII, pimpinan Gereja Katolik Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mengaktifkan kembali karya misi di Hindia Belanda dan mendirikan Prefektur Apostolik Hindia Belanda di Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811)
Setelah Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) walaupun kebebasan beragama kemudian diberlakukan, namun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Hal itu karena pergantian kekuasaan di Belanda setelah kekalahan Napoleon pada 1815, yang mengangkat Willem I menjadi raja Belanda. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.
Perkembangan Di Jawa Tengah dan Magelang
Sejak tahun 1808, Semarang telah menjadi stasi dari Prefektur Apostolik Batavia dimana Pastor L. Prinsen bertugas melayani saat itu. Pada 1859 Ambarawa menjadi stasi baru dengan datangnya imam-imam Serikat Jesus. Menyusul kemudian pada 1865 Jogjakarta menjadi stasi baru dan juga disusul kemudian Magelang.
Keberadaan Gereja Santo Ignatius Magelang memulai  sejarah aktifitasnya tercatat tanggal 10 September 1865, hal ini tercatat dalam buku pemandian pertama yakni pemandian atas nama Yoseph (4 th) dan sanisa (1th) putra Joanis Kumarurung dan Waivar yang bertimpat tinggal di Ambarawa.
Keberadaan jemaat di wilayah yang semakin bertambah, yang sebelumnya merupakan bagian pelayanan dari Paroki St. Petrus Kidul Loji, Yogyakarta.  Maka untuk peningkatan pengembalaan pada tanggal 30 Mei 1889 tepat pada hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga Rm. F. Vogel  SJ menetap di Magelang yang awal mulanya menginap di Hotel Looze di sebelah timur alun alun kota Magelang. Yang kemudian pada tahun 1900 tepatnya tanggal 2 Januari tujuh suster Fransiskanes (OSF) mulai tinggal dan berkarya di Magelang.
Awalnya, lahan Gereja Katolik Santo Ignatius merupakan lahan yang dibeli oleh Romo F. Voogel SJ pada tahun 1890. Dalam lahan tersebut kebetulan sudah ada sebuah bangunan (sekarang pastoran) yang dijadikan tempat tinggal sekaligus peribadatan. Baru selang sembilan tahun menetap di Magelang, Romo F. Voogel mulai melakukan peletakan batu pertama untuk mendirikan gereja sederhana yang berada di samping pasturan (sekarang gereja) di bawah guyuran derasnya hujan. Setahun kemudian, gereja tersebut sudah dapat digunakan untuk persembahan misa kudus pada 22 Agustus 1900. Sedangkan, pemberkatan gedung gereja secara meriah dilaksanakan pada 30 September 1900 dalam Misa Konselebrasi yang dipimpin oleh Mgr. E. Luypen SJ dari Batavia dengan didampingi Romo Mutzaers SJ dari Cirebon, dan Romo Asselbergs SJ dari Yogyakarta. Romo Paroki Magelang pada waktu itu adalah Romo Heuvel SJ. Beliau menggantikan Romo F. Voogel SJ yang pulang ke Negeri Belanda karena alasan kesehatan.
Selain itu, hadir pula Residen Kedu, Petinggi Militer Belanda di antaranya Kolonel Van der Dussen, tokoh masyarakat Tionghoa, dan tokoh masyarakat pribumi lainnya. Sedemikian meriahnya untuk ukuran saat itu, sehingga pemberkatan itu memancing kekaguman masyarakat Magelang tidak terbatas pada umat Katolik saja.
Saat bersejarah terjadi pada 27 Juni 1913 ketika seorang anak dari keluarga suku Jawa, yaitu Pak Ahmad dan Ibu Sanah, bernama Soewini (14 tahun) menerima sakramen permandian dengan nama Margaretha. Kemudian diikuti oleh Bapak Martawiardja dan Ibu Amini yang membaptiskan bayinya, Maria Moerjati.Tanggal 15 September 1923 ada 12 siswa Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dipermandikan oleh Romo B. Hagdoorn SJ. Sekolah ini sekarang menjadi SDK Pendowo. Bertambahnya masyarakat Jawa yang memeluk agama Katolik ini merupakan buah kerja keras para misionaris yang namanya pantas ditorehkan dengan tinta emas, di antaranya Romo Van Lith SJ dan Romo J. Hovenaars SJ.
Perkembangan jumlah umat (jemaat) yang kian meningkat dari tahun ke tahun memunculkan pemikiran untuk memperluas bangunan gereja. Gereja yang semula dibangun hanya berdaya tampung 300 jemaat itu harus diperluas. Maka pada 15 Agustus 1926 dimulailah perluasan gedung gereja dengan menambah sayap selebar 3,5 meter ke kiri dan kanan.
Hasil perluasan bangunan gereja tersebut usai perluasan adalah bangunan yang bisa disaksikan saat ini. Bangunan gereja yang berdiri di atas lahan seluas 13.000 m² ini, sebelumnya bercorak arsitektur Neo-Gothic sehingga fasade sudah berbeda jauh dari bangunan semula
Sosok pastor yang digambarkan sedang memegang kitab Gereja Katholik St Ignatius merupakan salah ciri khas dari gereja ini. Kitab yang dipegang sosok pastor yang dibuat dari batangan besi tersebut tertuliskan sebuah pesan yang mengagungkan tuhan. Pesan tersebut tertuliskan dalam bahasa belanda yaitu AMDG yang merupakan kependekan dari Ad Maiorem Dei Gloriam yang kurang lebih memiliki arti demi kemuliaan Tuhan yang semakin besar.
Peribadatan dan kegiatan Gereja lainnya mengalami pergeseran pada zaman revolusi fisik yang ditandati dengan Perang Asia Timur Raya yang disulut oleh Jepang. Pada saat Jepang masuk ke Indonesia khususnya Magelang. Revolusi tersebut berakibat pada pelarangan hal-hal yang berbau Kolonial Belanda. Mulai dari penggunaan bahasa Belanda dilarang, pastur berkebangsaan Belanda banyak yang ditangkap dan dijebloskan penjara.
Demikian pula dengan aktivitas gereja di Magelang. Satu hari setelah pada 30 Oktober 1945, tentara Gurkha (Jepang) datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, yang digunakan sebagai maskas tentara Jepang. Keesokkan harinya, 1 Nopember 1945, sebuah drama berdarah menimpa seluruh keluarga Pasturan Magelang.Lima orang Romo, dua Frater, dua Bruder, dan seorang koster diculik oleh segerombolan orang. Mereka dibawa dan dibunuh di komplek kuburan Giriloyo, Magelang. Tiga tahun kemudian peristiwa memilukan tersebut kembali terjadi. Saat itu Romo Sandjaja , yang saat itu dipercaya menggembala umat di Magelang, bersama Romo H Bouwens juga diculik dan dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan.
Selepas peristiwa memilukan yang terjadi masa revolusi fisik tersebut, sedikit demi sedikit kehidupan peribadatan di gereja mulai pulih dan mulai berbenah. Pada tanggal 1 Agustus 1962, pembenahan dimuali dengan merenovasi gereja. Pada masa itu yang melakukan perencanaan dan sebagai pelaksanaan merupakan persatuan gereja Katholik dari Semarang. Demikian pula dengan Gereja St Ignatius ini bangunannya pun dirombak total.“Namun ada beberapa ornamen yang masih dipertahankan seperti jendela-jendela mozaik, tangga melingkar untuk naik ke balkon, dan lonceng gereja,” 

 Mertoyudan, November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar