Roomsch Katholleke Kerk Magelang
; dalam Bahasa Belanda atau Gereja Katolik Roma di Magelang. Gambar diatas
adalah sebuah Photo Post Card atau PPC yang merupakan salah satu koleksi yang
beruntung saya dapatkan. Dari gambar dan tulisan kartu pos tersebut (berbahasa
Belanda) kita tahu bahwa bangunan gereja tersebut sudah ada sejak jaman
penjajahan Belanda. Artinya bangunan tersebut paling tidak sudah di bangun
sebelum tahun 1945. Dari data kita mengetahui bahwa hanya ada 2 buah gereja di
magelang yang berdiri sejak jaman Belanda yaitu Gereja Ignatius kota Magelang
dan Gereja Antonius Muntilan.
Sepintas dengan melihat gambar
bangunan yang ada di foto kita bisa menebak bahwa bangunan tersebut mirip
dengan Gereja Ignatius sekarang. Demikian pula dengan latar belakang dan
halaman mukanya sepintas mirip dengan
Gereja Ignatius sekarang. Gambar tersebut diambil dari pinggir jalan mengingat
ada pagar di depan bangunan. Gereja Ignatius sekarang tepat menghadap ke jalan,
sedangkan Gereja Antonius Muntilan tidak menghadap ke jalan. Jadi bisa kita
pastikan bahwa gambar pada kartu pos tersebut adalah Gereja Ignatius sekarang.
Kalau bangunan tersebut berbeda
dengan yang sekarang, hal ini dikarenakan Gereja Ignatius sudah mengalami dua
kali perombakan. Perombakan pertama tahun 1926, yakni dengan menambah sayap
kiri dan kanan dilebarkan seluas 3,5 meter. Foto tersebut diduga diambil
sebelum Gereja Ignatius mengalami perombakan yang pertama yakni sebelum tahun
1926. Tampak gereja hanya memiliki satu pintu utama, yang sekarang menjadi
pintu tengah. Sedangkan bangunan sekarang mempunyai tiga buah pintu, dengan dua
buah pintu kecil di kiri dan kanan mengapit pintu tengah yang lebih besar.
Menarik dalam foto tersebut
tampak gadis-gadis berbaju putih sedang berbaris di depan Gereja. Mereka
berjumlah sekitar 50 orang, dengan wajah Belanda, Indo, dan pribumi. Dari raut
muka dan posturnya, bisa ditebak mereka berusia belasan tahun antara 10-15
tahunan. Baju putih yang mereka kenakan bisa merupakan seragam sekolah atau
mereka baru saja menerima baptis. Dugaan pertama, mereka adalah siswi-siswi
dari sekolah setingkat Hollandsch-Inlandsche
School (HIS). Dugaan kedua mereka adalah remaja putri yang baru saja
menerima baptis.
Di Kabupaten Magelang terdapat
lebih dari 10 Gereja Katolik sebagai tempat peribadapan umat Katolik. Salah
satunya, yang tertua adalah Gereja Katolik Santo Ignatius yang terletak di
sebelah barat alun-alun kota Magelang, tepatnya di Jalan Yos Sudarso nomor 6.
Sejarah perkembangan umat Katolik di Magelang, tak terlepas dari perkembangan
agama Katolik di Indonesia. Berikut saya sertakan cuplikan kisahnya ; diambil
dari Wikipedia, hidup baru, dan situs web gereja Ignatius.
Pada awal abad ke 16 semangat petualangan menjelajah
samudera dan mencari sumber rempah-rempah di kalangan bangsa Portugis yang
beragama Katolik membawa mereka hingga ke Malaka. Kontak agama Katolik dengan
bumi nusantara merembet dari pangkalan Portugis di Malaka ke pulau-pulau lain
melalui pelabuhan-pelabuhan utama yang disinggahi kapal-kapal dagang Portugis,
misalnya: Banda (1511), Ternate (1513), Sunda Kelapa (1522), Panarukan (1528)..
Ketika itu para pelaut Portugis baru saja menemukan
kepulauan rempah-rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan
serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil.
Era VOC
Kedatangan dan kekuatan militer Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia tahun 1619
- 1799 akhirnya merebut monopoli perdagangan
rempah-rempah dari bangsa Portugis dan praktis menegakkan hegemoni politik di
Indonesia, Gereja Katolik dilarang secara mutlak melakukan kegiatan misi dan
hanya bertahan di beberapa wilayah yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh
VOC yaitu Flores dan Timor.
Para penguasa VOC beragama Protestan, maka mereka
mengusir imam-imam Katolik yang berkebangsaan Portugis dan menggantikan mereka dengan
pendeta-pendeta Protestan dari Belanda.
Era Hindia Belanda
Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja
Louis, seorang Katolik, kerabat Napoleon Bonaparte, membawa pengaruh yang cukup
positif. Semangat Revolusi Perancis "liberte, egalite, fraternite"
(kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) merembes ke kalangan pemerintahan
Belanda. Pada tanggal 7 Agustus 1806 Raja Lodewijk Napoleon mengumumkan
undang-undang kebebasan beragama. Akibatnya, Gereja Katolik di Indonesia, yang
dilarang sejak tahun 1621, dapat berkembang lagi. Pada tanggal 8 Mei 1807, Paus Pius VII, pimpinan
Gereja Katolik Roma mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon
untuk mengaktifkan kembali karya misi di Hindia Belanda dan mendirikan Prefektur Apostolik
Hindia Belanda di Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels
(1808-1811)
Setelah Gubernur Jendral Daendels (1808-1811) walaupun kebebasan beragama
kemudian diberlakukan, namun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Hal itu
karena pergantian kekuasaan di Belanda setelah kekalahan Napoleon pada 1815,
yang mengangkat Willem I menjadi raja Belanda. Di daerah Yogyakarta, misi Katolik dilarang sampai tahun 1891.
Perkembangan
Di Jawa Tengah dan Magelang
Sejak tahun 1808, Semarang telah menjadi stasi
dari Prefektur Apostolik Batavia dimana Pastor L. Prinsen bertugas melayani
saat itu. Pada 1859 Ambarawa menjadi stasi baru dengan datangnya imam-imam
Serikat Jesus. Menyusul kemudian pada 1865 Jogjakarta menjadi stasi baru dan
juga disusul kemudian Magelang.
Keberadaan Gereja Santo Ignatius Magelang
memulai sejarah aktifitasnya tercatat tanggal 10 September 1865, hal ini
tercatat dalam buku pemandian pertama yakni pemandian atas nama Yoseph (4 th)
dan sanisa (1th) putra Joanis Kumarurung dan Waivar yang bertimpat tinggal di
Ambarawa.
Keberadaan jemaat di wilayah yang semakin
bertambah, yang sebelumnya merupakan bagian pelayanan dari Paroki St. Petrus
Kidul Loji, Yogyakarta. Maka untuk peningkatan pengembalaan pada tanggal
30 Mei 1889 tepat pada hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga Rm. F. Vogel
SJ menetap di Magelang yang awal mulanya menginap di Hotel Looze di
sebelah timur alun alun kota Magelang. Yang kemudian pada tahun 1900 tepatnya
tanggal 2 Januari tujuh suster Fransiskanes (OSF) mulai tinggal dan berkarya di
Magelang.
Awalnya, lahan Gereja Katolik
Santo Ignatius merupakan lahan yang dibeli oleh Romo F. Voogel SJ pada tahun
1890. Dalam lahan tersebut kebetulan sudah ada sebuah bangunan (sekarang
pastoran) yang dijadikan tempat tinggal sekaligus peribadatan. Baru selang
sembilan tahun menetap di Magelang, Romo F. Voogel mulai melakukan peletakan
batu pertama untuk mendirikan gereja sederhana yang berada di samping pasturan
(sekarang gereja) di bawah guyuran derasnya hujan. Setahun kemudian, gereja
tersebut sudah dapat digunakan untuk persembahan misa kudus pada 22 Agustus
1900. Sedangkan, pemberkatan gedung gereja secara meriah dilaksanakan pada 30
September 1900 dalam Misa Konselebrasi yang dipimpin oleh Mgr. E. Luypen SJ
dari Batavia dengan didampingi Romo Mutzaers SJ dari Cirebon, dan Romo
Asselbergs SJ dari Yogyakarta. Romo Paroki Magelang pada waktu itu adalah Romo
Heuvel SJ. Beliau menggantikan Romo F. Voogel SJ yang pulang ke Negeri Belanda
karena alasan kesehatan.
Selain itu, hadir pula Residen
Kedu, Petinggi Militer Belanda di antaranya Kolonel Van der Dussen, tokoh
masyarakat Tionghoa, dan tokoh masyarakat pribumi lainnya. Sedemikian meriahnya
untuk ukuran saat itu, sehingga pemberkatan itu memancing kekaguman masyarakat
Magelang tidak terbatas pada umat Katolik saja.
Saat
bersejarah terjadi pada 27 Juni 1913 ketika seorang anak dari keluarga suku
Jawa, yaitu Pak Ahmad dan Ibu Sanah, bernama Soewini (14 tahun) menerima
sakramen permandian dengan nama Margaretha. Kemudian diikuti oleh Bapak
Martawiardja dan Ibu Amini yang membaptiskan bayinya, Maria Moerjati.Tanggal 15 September 1923 ada 12 siswa Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) dipermandikan oleh Romo B. Hagdoorn SJ. Sekolah ini sekarang
menjadi SDK Pendowo. Bertambahnya masyarakat Jawa yang memeluk agama Katolik
ini merupakan buah kerja keras para misionaris yang namanya pantas ditorehkan
dengan tinta emas, di antaranya Romo Van Lith SJ dan Romo J. Hovenaars SJ.
Perkembangan jumlah umat (jemaat)
yang kian meningkat dari tahun ke tahun memunculkan pemikiran untuk memperluas
bangunan gereja. Gereja yang semula dibangun hanya berdaya tampung 300 jemaat
itu harus diperluas. Maka pada 15 Agustus 1926 dimulailah perluasan gedung
gereja dengan menambah sayap selebar 3,5 meter ke kiri dan kanan.
Hasil perluasan bangunan gereja
tersebut usai perluasan adalah bangunan yang bisa disaksikan saat ini. Bangunan
gereja yang berdiri di atas lahan seluas 13.000 m² ini, sebelumnya bercorak
arsitektur Neo-Gothic sehingga fasade
sudah berbeda jauh dari bangunan semula
Sosok pastor yang digambarkan sedang memegang
kitab Gereja Katholik St Ignatius merupakan salah ciri khas dari gereja ini.
Kitab yang dipegang sosok pastor yang dibuat dari batangan besi tersebut
tertuliskan sebuah pesan yang mengagungkan tuhan. Pesan tersebut tertuliskan
dalam bahasa belanda yaitu AMDG yang merupakan kependekan dari Ad Maiorem Dei
Gloriam yang kurang lebih memiliki arti demi kemuliaan Tuhan yang semakin
besar.
Peribadatan dan kegiatan Gereja lainnya mengalami
pergeseran pada zaman revolusi fisik yang ditandati dengan Perang Asia Timur
Raya yang disulut oleh Jepang. Pada saat Jepang masuk ke Indonesia khususnya
Magelang. Revolusi tersebut berakibat pada pelarangan hal-hal yang berbau
Kolonial Belanda. Mulai dari penggunaan bahasa Belanda dilarang, pastur
berkebangsaan Belanda banyak yang ditangkap dan dijebloskan penjara.
Demikian pula dengan aktivitas gereja di
Magelang. Satu hari setelah pada 30 Oktober 1945, tentara Gurkha (Jepang)
datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, yang digunakan sebagai maskas
tentara Jepang. Keesokkan harinya, 1 Nopember 1945, sebuah drama berdarah
menimpa seluruh keluarga Pasturan Magelang.Lima orang Romo, dua Frater, dua
Bruder, dan seorang koster diculik oleh segerombolan orang. Mereka dibawa dan
dibunuh di komplek kuburan Giriloyo, Magelang. Tiga tahun kemudian peristiwa
memilukan tersebut kembali terjadi. Saat itu Romo Sandjaja , yang saat itu
dipercaya menggembala umat di Magelang, bersama Romo H Bouwens juga diculik dan
dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan.
Selepas peristiwa memilukan yang terjadi masa
revolusi fisik tersebut, sedikit demi sedikit kehidupan peribadatan di gereja
mulai pulih dan mulai berbenah. Pada tanggal 1 Agustus 1962, pembenahan dimuali
dengan merenovasi gereja. Pada masa itu yang melakukan perencanaan dan sebagai
pelaksanaan merupakan persatuan gereja Katholik dari Semarang. Demikian pula
dengan Gereja St Ignatius ini bangunannya pun dirombak total.“Namun ada
beberapa ornamen yang masih dipertahankan seperti jendela-jendela mozaik,
tangga melingkar untuk naik ke balkon, dan lonceng gereja,”
Mertoyudan, November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar